“Cinta Sehari yang Kandas”
Oleh : Subhan, S.Pd (Guru SMAN 1 Besuk)
Sepintas tampak layu, seolah membenamkan tubuhku dalam relung jiwa. Menebar kesunyian dalam rimba penatnya pikiranku. Hari ini seakan kulalui tanpa pasti, terombang-ambing oleh lalu-lalangnya keramaian di sekitarku. Aku sudah melanglang buana, pindah dari sekolah yang jauh sampai yang terdekat. Banyak kisah yang telah kudapatkan, hingga kuputuskan bermuara di sekolah ini. Bukan sesuatu yang mudah beradaptasi dengan teman-teman y ang semua masih asing bagiku. Kadang aku digojlok dan diplonconi oleh kakak kelas dan teman sekelasku. Wah…, pokoknya serasa siswa baru yang baru ikut MOS. Cukup membosankan dan menjengkelkanku waktu itu, namun semua sudah berlalu dan menyisakan kenangan tersendiri bagiku.
Bel sekolah sudah berdering, pertanda pelajaran sudah usai. Anak-anak berhamburan menuju musholla sekolah. Seperti biasa, kami semua mengikuti sholat dhuhur berjamaah yang sudah sejak lama diterapkan di sekolah kami. Serasa tenang dan damainya hatiku. Selesai sholat, kami semua melangkah menuju gerbang sekolah untuk bergegas pulang. Suara berisik seolah bertalu-talu, bersautan bunyi klakson dan derungan suara mesin yang memanjang di jalan raya. Langkah demi langkah kupijakkan, di bawah terik mentari dengan seragam sekolah yang kukenakan menuju pemberhentian bus di Pertigaan Tanjung. Sesekali kuterdiam, dan terusik kala teman-teman yang bersama menemaniku mendorongku. Kubiarkan dan tetap tersenyum, tak menggubris karena memang kutahu mereka sering usil.
Lama juga aku duduk menunggu bus yang akan datang melaju dari arah barat. Serasa bosan dan penat mulai menghinggapiku lagi. Belum lagi kubayangkan nantinya, bus yang akan aku tumpangi penuh dan sesak oleh penumpang, dengan aroma penumpang yang khas bercampur dalam kendaraan segi empat panjang itu. Huh…! ternyata benar juga. Bus datang melaju dari arah barat dengan penumpang yang penuh sesak. Nasib sial kini harus aku terima lagi. Sampai kapan nasib baik berpihak padaku, sabar berdiri menunggu giliran penumpang yang lain turun. Akhirnya, nasib itu berpihak padaku. Aku dapati kursi kosong yang ditinggal oleh penumpangnya, aku bergesas mendekati tetapi terhenti karena jiwa sosialku harus kupertaruhkan, mengalah karena seorang nenek yang kulihat sejak tadi sudah keletihan berdiri. Akhirnya aku relakan saja untuk diduduki sang nenek tersebut. Tak terasa sekian lama bus melaju, kulihat tanda yang tak asing lagi didepan kaca bus. Ternyata sampai juga di tempat yang biasa aku selalu memberhentikan bus di situ, yaitu sebuah jalan yang menuju rumahku.
Dengan langkah tertatih, aku menuju rumah yang tak begitu jauh dari jalan raya tempat bus tadi berhenti. Tak berapa lama, akhirnya sampai juga di halaman rumahku. Dari kejauhan, kulihat ibuku rupanya sudah datang lebih awal dariku. Maklum saja, beliau bukan seorang ibu rumah tangga biasa yang sehari-hari selalu di rumah. Tugas beliau juga mengurusi anak-anak yang seusia denganku di sekolah. Ya…, dia adalah seorang guru SMP Negeri di Suboh tepatnya di daerah Situbondo.
“Baru pulang, Yog?” sapa ibuku.
“Iya, Bu’!” sahutku.
“Sana cepat mandi setelah itu makan, adik-adikmu tadi sudah makan duluan sama aku”.
“Iya, Bu.” aku bergegas masuk ke dalam setelah kucium tangan ibuku.
Seperti biasa aku menyalakan laptop kesayanganku, kemudian kubuka situs pertemanan face book ku. Ternyata banyak teman-temanku yang sudah on line dari tadi, tak terkecuali “Pak Boss”, sapaan akrab salah satu guru di sekolahku. Dia termasuk salah satu guru muda yang gaul dan akrab dengan teman-teman di sekolahku termasuk aku. Pak Boss, mengomentari tulisan dinding face book ku lewat chatting. Dia bilang padaku untuk tidak terlalu larut dalam kesedihan karena masalah cinta. Kata dia, mengapa aku tidak mendekati seorang cewek lagi. Semua itu dilakukan agar aku tidak terlalu lama berada dalam suasana kesedihan. Awalnya aku menolak, tetapi karena desakan dan beberapa argumentasi dia yang cukup kuat, akhirnya aku luluh juga dan meruntuhkan prinsip kuatku untuk tidak mengenal cinta lagi dalam waktu dekat ini.
Pak Boss akhirnya menawariku untuk mencoba menjalin hubungan dengan salah seorang siswi di sekolahku, sebut saja namanya Diana. Dia adalah salah satu siswi seangkatan denganku, tetapi beda kelas denganku.
“Pak, dia ‘kan sudah punya pacar, kayaknya gak mungkin deh dia mau sama saya.” jawabku membalas chatting-nya.
“Riodhoni itu kayaknya masa lalu dia deh, soalnya kabar terakhir yang aku dengar dia udah putus. Seseorang yang sudah tidak punya hubungan lagi, kan gak masalah kalau kamu dekati.” balas Pak Boss.
“Gak usah dah, Pak, makasih. Saya takut dia nolak saya.” jawabku.
“Ah…... cemen banget kamu. Masa’ gitu aja takut, belum nyoba sudah mundur itu namanya pengecut. Ingat antara cinta dan benci itu terletak pada garis kekecewaan. Nyoba kan ngak bayar, ngapain takut namanya juga usaha. Nanti kalo ditolak, ya cari yang lain, kita kan cowok. Gini aja deh, sekarang kamu bilang ya saja, entar aku yang atur semua. Gimana?” jawabnya memberi keputusan.
“Iya dah, Pak, saya coba.” jawabku membalas keputusannya.
Hari itu kulalui dengan penuh harap, cemas dan gundah-gulana. Mataku tak mampu terpejam, pikiranku menerawang jauh seolah terbang meninggalkan ragaku. Asaku kian menggelayuti setiap rongga di celah hasratku dan tak jua pergi hingga pagi menjelang. Aku terbangun dari sarang kapuk yang selama ini seolah kuerami, dengan bias asa yang jua masih terlintas. Akankah Pak Boss mampu memberiku kabar terbaiknya untuk membantu mendekatkanku dengan seseorang yang kemarin ia sebutkan.
Pagi ini terasa bugar, dan lebih fresh dari biasanya. Dengan langkah pasti kupijakkan kaki untuk kembali menggerilya otakku, mengisinya dengan amunisi ilmu. Bus yang selalu setia menemaniku, tak lama ditunggu akhirnya muncul juga. Laju bus cukup kencang sehingga tak terasa sampai juga di depan sekolahku. Dari kejauhan, kulihat Diana yang juga baru datang. Jantungku seolah berdegup kencang kala kulihat wajah dan senyumannya yang memancar, sedikit berbinar menyilaukan mataku walau sesaat. Akankah Pak Boss sudah menyampaikan sesuatu kepadanya tentangku, tentang sesuatu yang kemarin kami bicarakan. Alangkah malunya aku, bila informasi itu sudah sampai kepadanya. Tapi kuberanikan saja tampak berjalan pede karena kuingat kata Pak Boss, aku tidak boleh cemen, gak boleh takut dan juga jangan jadi orang pengecut.
Pulang sekolah kuberanikan diri, untuk menyatakan perasaanku lewat HP. Meskipun dengan perasaan malu dan khawatir ditolak. Aku juga merasa bingung mendengar jawaban dia, jawaban yang seolah klise bagiku. Dia tidak menerimaku hanya karena ada temannya yang menyukaiku yaitu Vina dan Heny. Dia mengurungkan niatnya untuk menerimaku hanya karena temannya itu takut sakit hati bila dirinya jadian denganku. Kebingunganku bertambah, seandainya aku tidak disukai oleh temannya itu, apakah dia menerimaku atau tidak? Dia tidak memberikan jawaban pasti tentang ini semua padaku.
Peristiwa tersebut aku sampaikan pada penasehat asmaraku, yaitu Pak Boss. Ternyata dia juga sudah menanyakan masalah ini kepada Diana, dan alasan Diana sama dengan alasan yang kuterima darinya, yaitu dia tidak menerimaku karena dia hanya tidak mau menyakiti hati temannya. Kemudian dia sedikit mengkritikku karena menurutnya aku terlalu jadul (jaman dulu banget), karena mengutarakan perasaan lewat HP. Ia menambahkan, “Emang sebanding tah nilai perasaan kita dengan pulsa di HP kita!” tambah Pak Boss seolah menyalahkanku. Memang sih kalau dipikir-pikir benar juga pernyataan Pak Boss tersebut. Akhirnya, setengah putus asa kubilang pada Pak Boss untuk mundur saja, karena sudah tidak mungkin aku akan diterima oleh Diana. Akan tetapi Pak Boss kembali meyakinkanku untuk tetap berusaha, karena menurutnya cinta itu membutuhkan perjuangan dan pengorbanan.
Lamunanku kini terbang jauh lagi, membawaku terbang dan tercengang pada satu titik di pojok dinding kamarku. Setengah terlelap kurebahkan tubuhku di atas pulau kapukku dengan sedikit perasaan penat di dalam pikiranku. Pertanyaan akan keputusasaan selalu menghantuiku. Kemudian, kutersentak oleh suara sms di HP ku. Aku kembalikan jiwaku pada ragaku semula untuk membuka sms yang ternyata dari Pak Boss.
“Gimana, udah siap belum…? Kira-kira kosa kata apa yang besok dipersiapkan untuk ngomong langsung ke dia?” bunyi sms yang ditulis Pak Boss.
“Belum, Pak, saya gak tau mau bilang apaan. Bantuin dong, Pak!” sahutku membalas smsnya.
“Yang dibutuhkan oleh Diana sekarang itu adalah kamu mampu meyakinkan dia. Kamu cuma memerlukan tiga langkah untuk melakukan itu semua.”
“Apaan tu, Pak?” isi balasan smsku.
“Gini, pertama kamu harus katakan bahwa masalahnya masalahmu juga. Kedua, untuk ke Vina, tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan cara baik-baik. Ketiga, percayalah bahwa kamu adalah orang yang setia, bukan seorang play boy yang suka mempermainkan hati perempuan dan lebay dengan janji manisnya.” jawabnya dengan begitu meyakinkan.
“Ok, Pak. Besok akan saya coba!” tandasku membalas smsnya penuh semangat.
Hari yang dinanti pun tiba, setelah pulang sekolah aku dan temanku sengaja tidak pulang duluan. Diana pun dan teman-temannya masih terlihat ramai didalam sekolah. Sulit rasanya menyampaikan perasaan ini, karena terlalu banyak teman-temannya yang bersamanya. Tidak mungkin rasanya aku utarakan perasaan ini lagi ditengah orang banyak. Aku minta bantuan teman dekatnya yaitu Laureta agar aku bisa bicara dengannya tanpa didampingi dengan teman-temannya yang lain. Meskipun agak sulit tetapi tercapai juga, dengan didampingi Laureta aku utarakan semua perasaanku lengkap dengan jurus yang diberikan Pak Boss semalam padaku. Aku tak menyangka sekaligus tidak percaya, ternyata Diana menerima cintaku. Betapa senang dan berbunga-bunganya hatiku saat itu. Hatiku seolah kemarau setahun, yang basah disiram oleh air hujan sehari. Aku beranjak pulang, membawa sekelumit kisah bahagia tentang lukisan perasaanku saat itu.
Aku habiskan malam ini, bersama hayalan indahku yang kini telah aku tuai bahagianya. Sekian lama kurindukan seseorang yang mampu temani hari-hari yang ‘kan kulalui. Kini dia telah ada dan mampu mengisi hari-hariku. Mataku terpejam dengan senyuman dan hati yang berbunga-bunga, mengantarkanku kembali dalam mimpi indahku hingga pagi menjelang. Mentari yang masih kabur cahaya, malu-malu menampakkan sinarnya. Aku telah selesai mengguyur tubuhku dengan air dingin di pagi itu. Kemudian, setelah siap semua tas dan bukuku. Aku bergegas berangkat sekolah dengan hati yang berbinar dan wajah yang berseri mengembang.
Sesampainya di sekolah, ternyata kabar hubunganku dengan Diana sudah tersebar luas ke teman-teman di sekolahku. Termasuk juga Vina, cewek yang kata Diana menyukaiku dan juga Riodhoni mantannya Diana. Kabar hubunganku dengan Diana tersebut, ternyata disebarkan oleh Laureta sahabat Diana yang pada waktu kuutarakan perasaanku, dia juga ada disamping Diana. Peristiwa pun mulai agak memanas, karena berita hubunganku dengan Diana itu membuat Riodhoni mantan Diana sakit hati, dia masih belum terima akan hubunganku dengan Diana karena dia masih punya perasaan terhadapnya. Sehingga aku dianggap oleh Riodhoni merebut kekasihnya, kemudian terjadi sebuah insiden kecil antara aku dengan Riodhoni di depan kelas. Namun dilerai oleh teman-teman, sehingga tidak sampai berantem. Insiden tersebut masih berlajut sampai pulang sekolah. Ketika pulang sekolah, Riodhoni memukulku dari belakang. Tidak terima dengan pukulan Riodhoni tersebut, aku tidak tinggal diam. Kubalas pukulannya sehingga perkelahian pun tak mampu untuk dibendung. Peristiwa itu terjadi tepat didepan sekolah, di pinggir jalan raya.
Peristiwa perkelahian tersebut, pasti besok akan sampai juga ke pihak sekolah dan kupastikan kalau aku akan masuk ruang BP, dicecar dengan berbagai macam pertanyaan dan pastinya akan kena sanksi dari pihak sekolah.
Keesokan harinya, ternyata betul apa yang kukhawatirkan. Pihak sekolah telah megetahui peristiwa perkelahianku kemarin. Secara bergantian kami dipanggil ke ruang BP. Kami ditanyakan tentang asal muasal mengapa perkelahian tersebut terjadi. Kejadian tersebut sedikit memberikan warna malu pada diriku. Tetapi yang tak habis pikir olehku, mengapa Diana yang sudah menjadi pacarku, sejak peristiwa itu ketika ku coba untuk kuhubungi, tidak pernah membalas sms dan mengangkat teleponku. Aku bingung ada apa dengannya, apakah dia marah kepadaku ataukah dia tidak ingin terlibat terlalu jauh dengan masalahku dan merasa bersalah karena telah menerimaku menjadi pacarnya? Setidaknya, dia memberiku sebuah penjelasan atas sikapnya itu, bukan malah mendiamkanku begini tanpa alasan yang jelas dan mengurungku dalam sebuah pertanyaan besar. Akankah dia masih mencintaiku ataukah dia sudah memutuskan cintaku?
Cinta Sehari yang Kandas
Posted by SMAN BESUK on Sunday, 24 January 2016
|

